Photographer vs Photoshoper

Untuk mendapatkan kualitas gambar yang bagus, kamu tentu butuh teknik pengambilan gambar dan kamera yang baik sebagai pendukungnya. Namun di dunia yang serba digital seperti sekarang, segala teknis pencahayaan dll, bisa kamu dapatkan dengan software olah digital. Sebagian Fotografer tidak setuju dengan hal itu, karena dianggap menghilangkan kemurnian dari sebuah karya photografi, sebaliknya para pengguna software digital imaging (ayo..para desainer grafi s tunjuk tangan!) percaya bahwa yang terpenting adalah berkreasi untuk menghasilkan karya terbaik.

Hal inilah yang memecah kedua jenis seniman ini dalam dua blok.. yang pertama adalah Fotografis Murni (FM) di sudut merah dan para Photoshoper (PS) di sudut biru.





Aliran FM meyakini Tuhan yang Maha Esa, ehm.. maksud saya mereka meyakini bahwa karya fotogra fi yang di ambil berdasarkan realitas yang ada-orisinil/murni berdasarkan intuisi si fotografer, adalah karya seni yang sebenarnya. Masalah Over Exposure, Lighting, Blur, Out of Focus, dll, hanyalah masalah teknis yang bisa dipelajari. Maka berbagai teknik fotografi pun terus dieksplorasi untuk menghasilkan foto yang lebih baik.


Seiring itu, produsen kamera juga terus memperbaiki teknologi (hardware) kamera untuk lebih memudahkan fotografer dalam hal-hal teknis. Berbagai macam gadget untuk kebutuhan tersebut tersedia mulai dari Tripod, Lensa-dari yang kecil sampai yang besar untuk length yang lebih jauh, baterai, setingan lighting (untuk studio) hingga tas2 pendukungnya. Brother, percayalah! All that stuff sangat2 membantu sebagian kecil photografer, sebagian besarnya masih bermimpi untuk memilikinya. Yup! ada harga yang harus di bayar Bro, dan harga gadget itu semua sangat mahal jika dibandingkan dengan semangkuk bakso :D.

Bagi fotografer professional (yang penghasilannya udah ratusan juta) tentu hal ini bukanlah masalah, tapi bagi Mahasiswa yang baru aja korupsi uang kuliah dari Bokap untuk beli Nikon D90, hal ini benar2 butuh perjuangan. Tapi tidak ada perjuangan yang sia2 bukan, jika suatu hari nanti kamu bisa sehebat Darwis Triadi atau Arbain Rambee?

Jika menyangkut masalah teknik fotografi, ini masalah lain lagi. There isn’t take a week to master it! Butuh pengalaman yang ditempa tahunan untuk mempertajam intuisi seorang fotografer. Bahkan setelah semua teknik dikuasai masih ada satu hal yang tidak bisa dikalahkan seorang fotografer (khususnya fotografer outdoor), yaitu waktu! Kamu tidak bisa mengubah malam menjadi siang bukan!? Dalam fotografi bahkan ada istilah Golden Time (waktu yang tepat untuk nge-jepreet), karena cahaya matahari benar-benar mendukung (tentu dengan menghilangkan opsi hujan). Dan turunan dari waktu tersebut tentu saja momen yang tepat. Pernah ada seorang fotografer yang ingin memotret sebuah jalan yang disisi kanan-kirinya diiringi pohon bambu, harus menunggu selama 3 jam-an sampai akhirnya dua orang anak SD lewat, dan moment itu begitu bercerita ketika diabadikan dalam sebuah gambar jpg high resolution.

Mahalnya alat plus teknis yang sulit inilah yang menjadikan seorang fofografer menghargai baik karyanya, maupun karya fotografer lain. And.. tiba-tiba ada seorang anak muda, dekil, jarang mandi, ga punya duit buat beli kamera DSLR, gengsi minjam (lagian mana ada yang mau minjamin kamera seharga 10 juta-an sama orang lain) nenteng laptop yang udah diinstall Photoshop yang DVD bajakan-nya Rp.20.000 dapet 3. Kemudian bisa menciptakan photo pemandangan lepas pantai buram yang ga jelas exposurenya, menjadi photo dengan warna yang ciamik. Kemudian ia menambahkan photo pacarnya (yang tentu saja jerawatnya udah di hapus semua dengan teknik Clone Mash) berdiri di atas pasir putih pantai berikut dengan text “I Miss You” dengan font Androginy 10pt, sedikit inner shadow membuat tulisan itu seakan di cetak letterpress di pasir pantai. Guys! that Boy has made a picture that FM can’t do till the world end! dan lebih gawatnya lagi, teknik editing tersebut baru ia pelajari 1 hari yang lalu, dari tutorial singkat di PSDTuts+ dan seperti kebanyakan para pengguna software digital editing, semua percaya anak ini cuma butuh 3 hari to master it.


Dari sekian banyak Software pengolah digital yang ada, salah satu yang paling terkenal adalah Adobe Photoshop. Bundle versionnya seharga $538.99 (harga amazon.com), untuk versi bajakannya jauh lebih murah. Photoshop memungkinkan kita mengolah gambar digital hampir tidak ada batasnya. Jika digandengkan dengan Adobe Illustrator, Adobe InDesign, dll, maka batas itu semakin memudar.

Penguasaan sofware ini tergantung seberapa niat kamu ingin mempelajarinya. Dengan adanya ribuan tutorial tentang Adobe Photoshop, saya yakin banyak waktu yang bisa di hemat. Dari menghilangkan jerawat, menghaluskan kulit wajah, mengganti warna rambut, editing tone skin, menambahkan cahaya hingga hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh sebuah kamera manual. Bahkan dengan sedikit teknik kita bisa mengatur perspective sesuka hati. Foto front focus dengan latar blur dengan mudah juga bisa diciptakan tanpa harus menggunakan lensa VR yang harganya jutaan.

Disinilah sinisme ini terjadi. Para pelaku FM sangat tidak setuju dengan tindak-tanduk para PS. Yang dinilai tidak murni dalam berkarya. Karya photography yang baik seharusnya tidak memerlukan lagi proses editing digital dikarenakan semua komposisi warna, cahaya, dll sudah baik. Memperbaiki photo apalagi sampai merubah total gambar dinilai sama dengan memanipulasi sebuah karya. Sementara si PS, cukup dengan camera poket 9MB (ini udah bagus banget!) sedikit semedi untuk mendapatkan angle yang pas! tidak perduli dengan aturan cahaya dsb, cukup masuk ke Photoshop.. dan keajaibanpun bisa dilakukan disana.

Bahkan untuk tingkat olah digital yang lebih tinggi-jika para FM harus rela manjat pohon, atau berdiri di gedung yang tinggi bahkan sampe ada rela sewa pesawat untuk mendapatkan Bird View. Para PS bisa melakukan itu semua dengan hasil editan yang beragam untuk foto yang sama, sephia, shift tilt effect, atau sekedar menambahkan beberapa ornamen lainnya.


Kamera-secanggih apapun teknologinya, mempunyai batasan dimana ia tidak bisa menghasilkan imajinasi liar si photographer. Ketika mencapai batas itulah maka orang menggunakan software pengolah digital seperti photoshop untuk mewujudkan imajinasi itu. Seorang teman saya yang berprofesi sebagai Wedding Photographer sangat terbantu dengan Photoshop. Ia bisa mengikuti keinginan klien yang yang beragam. Lebih lagi, jika ternyata ada foto yang kurang bagus dikarenakan hal-hal teknis yang mengganggu pada saat acara resepsi, dan baru diketahui esok harinya. Hal tersebut bisa diperbaiki di photoshop (karena tidak mungkin acara resepsi di ulang kan!?) sebelum di cetak. Hal ini membuat kinerja lebih efesien dan efektif.

Perbedaan antara FM dan PS lebih pada prinsip dalam menghasilkan sebuah karya seni. Tergantung dalam perspektif mana kita ingin melihatnya.

So, dimana posisi kamu? atau apa pendapat kamu? mari berbagi di kolom komentar.




Tentang Penulis
Angga — Desainer grafis dan seorang antropolog. Menemukan semangat baru ketika melihat desain grafis dari sisi seorang Antropolog. Mencoba menggabungkan seni grafis ke dalam etnografi, dan mengaplikasikannya dalam dunia nyata.
email : angga.rizal[at]gmail.com | twitter : @anggaishere | all post by Angga

0 Response to "Photographer vs Photoshoper"